
Sebagai salah satu komponen bentang alam yang paling besar, gunung berdiri dengan angkuh menembus tiang-tiang angkasa. Bayangannya pun mampu mengatup permukiman di bawahnya.
Di banyak tempat, gunung menjadi arena olahraga, juga menjadi sarana rekreasi ataupun pusat sumber daya. Lerengnya menyediakan ruang luas untuk produksi dan konsumsi. Bebatuannya mengandung aneka mineral. Airnya menjadi sumber kehidupan bagi semua mahkluk ciptaan Tuhan.
Kemarin, 11 Desember 2017, seperti hari dengan tanggal sama pada tahun-tahun sebelumnya, merupakan Hari Gunung Internasional. Dicetuskan pertama kali oleh United Nations General Assembly 14 tahun silam, untuk mengingatkan akan multifungsi dan maha pentingnya gunung.
Sebagian linimasa media sosial, khususnya mereka yang aktif berkegiatan di luar ruang, sorak-sorai mengucapkan bak hari raya kebesaran. Perayaan yang terus berulang menjadi rutinitas tahunan.
Namun, sudahkah kita memaknainya lebih dalam?
Dunia pendakian gunung, khususnya di Indonesia, kini makin bergelora. Jalur setapak di hutan pelosok negeri terus disusuri. Punggungannya pun tanpa henti ditapaki demi mencapai titik tertinggi.
Kini, makin banyak generasi zaman now meminati kegiatan alam terbuka. Sesuatu yang (mestinya) menggembirakan.
Pendaki gunung kawakan Indonesia, Djukardi Adriana, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bongkeng (saya lebih pantas memanggilnya Uwa Bongkeng), pernah mengutarakan kegelisahannya akan masa depan gunung-gunung di Indonesia.
“Dulu, nyari teman naik gunung itu susah. Di gunung juga sepi sekali. Tapi, sekarang, kalau ke gunung di akhir pekan, bangun tidur bukan suara burung lagi, tetapi suara manusia. Sampah-sampah juga makin banyak, terutama di gunung Pulau Jawa,” ujarnya kepada saya saat Ekspedisi Black Borneo, setahun silam.

Walau usianya sudah menginjak kepala enam, Uwa Bongkeng yang telah aktif mendaki sejak 70-an masih eksis di dunia pendakian hingga kini. Beliau salah satu saksi hidup perkembangan kegiatan pendakian gunung di Indonesia. Pantaslah ucapannya kita renungi. Tabik!
Dahulu, gunung kerap dijadikan tempat menyucikan diri. Bahkan, penduduk Nepal mengibaratkan kegiatan mendaki gunung dengan berziarah. Pada perkembangannya, kini mendaki gunung juga menjadi ajang adu gengsi dan unjuk gigi.
Memang tidak berarti itu salah, terlebih di era kemajuan teknologi dewasa ini yang memudahkan seseorang untuk eksis.


Tetapi, tumpukan botol bekas minuman, bungkus plastik sisa makanan, hingga lembaran tisu basah kini jamak kita temui di tiap shelter ataupun tempat berkemah.
Baca juga: Kandang Badak yang Memprihatinkan
Ratusan ton sampah terkumpul saban ada kegiatan aksi bersih-bersih dari berbagai komunitas, namun ratusan ton sampah baru dengan cepat kembali mengisi sudut-sudut tersebut.


Di Hari Gunung Internasional, marilah tiap tahun kita tingkatkan 1 level kesadaran mengenai kualitas dalam beraktivitas. Tak harus muluk, misal dimulai dengan meniadakan penggunaan botol plastik bekas air mineral ketika pendakian.
Karena, gunung bukan hanya milik para pendaki, tapi juga mahkluk hidup lainnya dari hulu hingga di hilir.
Jika teman-teman punya resolusi atau bahkan aksi konkret lain, yuk berbagi dengan saya di kolom komentar 🙂
Sedih kadang Bang lihat para pendaki sekarang
LikeLiked by 1 person
harusnya para pendaki membawa bekal tong sampah tuhhh
LikeLike