
“BEBAN kok terasa lebih enteng ya kalau pakai keba ini,” ujar Rian, porter yang bertugas dalam Eiger Black Borneo Expedition 2016. Keba merupakan tas punggung khas suku Dayak yang terbuat dari anyaman dengan bahan dasar kayu. Piranti itu biasa digunakan untuk membawa hasil hutan ataupun hasil berburu hewan. Desainnya yang terbuka membuatnya mampu membawa beban lebih maksimal.
Pada Eiger Black Borneo Expedition 2015 di kawasan Gunung Merabu, Kalimantan Timur, Eiger, produsen perlengkapan luar ruang, mendapat inspirasi untuk mendesain ransel seperti keba. “Saat itu kami melihat keba asli orang Dayak sebagai peluang desain. Lalu semua didata dan dianalisis lebih lanjut di Bandung,” ujar Oki Lutfi, tim desain dan pengembangan produk Eiger.
Namun, ide desain keba tidak mulus begitu saja untuk diproduksi secara massal. “Keba Dayak dapat memuat banyak dan membawa beban berat. Itu sangat kontradiktif dengan misi kami karena beban yang banyak justru merusak tulang punggung manusia. Idealnya, beban yang dibawa berat maksimalnya 30% dari berat badan,” lanjut Oki.

Sekitar enam bulan, Eiger terus berkutat dengan problematika itu. Akhirnya, solusi didapatkan, yakni keba produk Eiger dilengkapi dengan bingkai eksternal dari rangka besi yang berfungsi membagi beban secara merata.
Ransel itulah yang membuat Rian merasa membawa keba yang lebih ringan. “Keba yang biasa saya bawa seluruh bebannya tertumpu di bagian bawah sehingga terasa lebih berat,” ungkapnya.
Keunggulan keba Eiger juga bisa digunakan untuk mengevakuasi orang. Korban yang tidak bisa berjalan bisa duduk di bingkai eksternal. “Seperti menggendong orang di belakang. Yang digendong duduk di atas frame keba,” ujar Oki.

Keba Eiger sudah diproduksi, seluruhnya di Bandung. Ransel itu juga diuji coba tim Eiger Black Borneo Expedition 2016 saat mendaki Gunung Beriun, 1-20 September lalu. Barang berat yang sulit dibawa seperti genset dan tabung gas pun lebih mudah diangkut dengan produk tersebut.
“Sasaran keba ini lebih khusus untuk para operator pendakian ataupun pendaki yang sering menggunakan jasa porter.”
Selama ini porter memang hanya menggunakan karung yang dipikul dengan kayu atau bambu. “Kami mendorong supaya mereka lebih dimanusiakan. Para porter bisa memanfaatkan keba ini,” tandas Oki.
======
Tulisan ini juga dimuat pada rubrik Fokus Nusantara Media Indonesia edisi Rabu, 12 Oktober 2016.