
BERKULIT legam, sorot mata tajam, bibir tebal, berperawakan kekar dan gempal, serta leher kuat yang mampu menahan beban noken di kepala hingga puluhan kilogram. Sosok tersebut biasanya identik dengan mereka yang tinggal di daerah pegunungan Papua. Saat berada di kota di Pulau Papua pun, sosok berciri seperti itu acap dianggap ‘orang gunung’.
Namun, di balik sosok yang terlihat keras itu, ada hati yang lembut. Hampir setiap saya berpapasan dengan warga lokal selama di Sugapa, mereka selalu tersenyum ramah dan menyapa saya terlebih dahulu. Mereka pun memiliki rasa kesetiaan yang tinggi.
Benny, salah satu warga Sugapa yang saya temui, memiliki jumlah jari tangan tidak lazim, hanya sembilan. Demikian juga Mama Kai, warga lokal yang saya temui tengah asyik membuat noken, hanya memiliki tujuh jari.
Bukan, mereka bukan cacat sejak lahir. Jumlah jemari tangan mereka yang tidak genap 10 ialah pertanda kesedihan.
Para ‘orang gunung’ itu, terutama yang berasal dari suku Dani dan suku Moni, memiliki tradisi untuk memupus duka. “Jika ada orang yang disayang meninggal, untuk menghilangkan kesedihan, dia akan potong jari tangannya,” ujar Maximus menjawab rasa penasaran saya.

Ritual memotong jari tersebut dalam bahasa lokal disebut iki palek. Yang membuat saya ngeri, alat yang digunakan untuk memotong jari bukanlah pisau tajam, melainkan alat tradisional kapak batu, yaitu batu alam berbentuk lonjong dengan sisi tajam. Namun, tetap saja ketajamannya berbeda dengan pisau.
Hmm… mungkin bagi mereka menahan rasa sakit akibat jari yang dipotong merupakan cara ampuh menghilangkan kesedihan karena hilangnya orang kesayangan.
Baca juga:
• Keindahan yang Mencekam di Langit Papua
• Batu Emas dan Kepala Suku Beristri 22
• Keindahannya Seelok Himalaya
Tulisan ini juga dimuat di rubrik Travelista Media Indonesia edisi Rabu, 23 September 2015.
5 thoughts on “Potong Jari Tangan Penanda Kesedihan”