
Para pegiat luar ruang pastinya sudah tidak asing dengan nama Gunung Papandayan. Gunung di Kabupaten Garut itu memang merupakan salah satu destinasi favorit para pendaki dari Pulau Jawa.
Jalur yang relatif landai, sajian pemandangan indah dari kawah nan merekah, dan bekas letusan di 2002 silam yang meninggalkan batang pepohonan tanpa arwah menjadi berbagai alasan untuk kembali ke sana. Dengan seabrek keindahan ‘wahana’ Papandayan tersebut, ternyata masih ada berbagai spot indah lain yang belum banyak dijamah.
Saya berkesempatan menjelajahi spot-spot ‘tersembunyi’ itu pada 23-24 Desember 2015 kemarin. Kali ini bersama Rugadi, Irana, dan seorang ‘pendatang’ baru, Mbak Patna, jurnalis senior di Media Indonesia.
Permulaan jalur pendakian Papandayan dari Camp David berupa jalur bebatuan selebar 5 meter. Sekitar 50 meter berjalan, lihatlah sisi sebelah kanan, ada tebing menjulang tinggi dan gagah, bak pemandangan yang tersaji di film the Hobbit.
Bayangkan naik ke atas puncak tebing itu dan melihat pemandangan terbuka ke arah timur, tempat matahari terbit.
Tidak, kita tidak harus memiliki keterampilan rock climbing seperti Kang Mamay Salim ataupun Kang Tedi Ixdiana. Namun, kita bisa menyusuri punggungan tebing yang mengarah ke puncak tersebut.

Puncak tebing yang dinamai Puncak Tebing Soni oleh warga sekitar itu bisa dilalui lewat punggungan di sisi timur kawah Papandayan, atau punggungan bukit di pintu gerbang masuk sebelum Camp David.
Menurut Kang Ayi, salah satu volunteer Gunung Papandayan, nama Soni adalah untuk mengenang korban meninggal di tebing itu. “Dahulu pernah ada yang jatuh dari tebing itu, namanya Soni,” jelasnya.
Kami pun memilih menelusuri punggungan di sisi timur kawah Papandayan. Jalur tidak begitu terjal, tapi juga tidak terlalu jelas. Mungkin karena belum banyak yang bertandang ke Tebing Soni.
Setelah 15 menit, akan terlihat dataran landai yang lumayan luas dengan pemandangan terbuka. Jika beruntung, bukan hanya Gunung Cikuray dan Guntur yang tampak dari sini, Gunung Ciremai dan Slamet juga akan terlihat.
Puncak Tebing Soni berada pada koordinat LS 07º18’28.721” dan BT 107º44’17.510”. Berhati-hati lah jika berada di sini. Perhatikan pijakan kaki. Sebaiknya jangan berdiri terlalu dekat dengan tebing. Struktur bebatuan di lokasi ini tidak begitu kuat dan bisa mencelakakan siapapun yang lengah.




Danau tak bernama
Dari Puncak Tebing Soni, kami turun kembali ke jalur utama menuju kawah Papandayan. Lalu dari titik ini, lihatlah kawah paling ujung di barat daya. Di sisi bawah kawah tersebut, ada gundukan pasir membentuk bukit. Tujuan kami selanjutnya menuju titik itu.
Jika membawa kompas orienteering, cari sudut azimuth menuju kawah itu dan berjalan ikuti sudutnya. Cara ini relatif mudah diterapkan karena medan yang terbuka, tidak seperti di hutan lebat yang kadang menyulitkan untuk orientasi medan.
Setelah dua sungai kami seberangi, bekas jalur setapak menuju kawah utama mulai terlihat walaupun samar-samar. Sekitar 100 meter berjalan, sampailah kami di gundukan pasir itu.


Alangkah indahnya. Di balik gundukan pasir tersebut ternyata ada cerukan besar, membentuk danau dengan air berwarna hijau kekuningan. Luas danau itu mungkin sekitar 100 meter.
Warga lokal maupun volunteer yang saya temui tidak ada yang mengetahui nama danau tersebut walau mereka mengetahui keberadaannya. Mereka hanya menyebutnya “Danau Papandayan”.
Air danau itu terasa tawar karena berasal dari air hujan. Koordinat danau yang memiliki kedalaman sekitar 3 meter itu berada di LS 07º19’09.760” dan BT 107º44’01.937”. Kami pun bersantai sejenak, menikmati panorama danau dan kepulan asap kawah sembari menyeduh teh dan camilan yang dibawa.


Menuju Tugu
Pendakian berlanjut ke arah barat. Tujuan kami kini ialah sebuah tugu peninggalan zaman Belanda. Dari danau, kami menaiki bukit di sisi kawah. Pipa-pipa air yang terpasang di sisi kawah bisa jadi patokan untuk memilih jalur menuju tugu.

Lewat setengah jam, jalur makin menanjak dan menguras tenaga. Rugadi yang berjalan paling depan bertugas mencari jalur dan titik tugu itu berada. Saya dan Irana menemani Mbak Patna di belakang.
Makin tinggi punggungan yang didaki, makin membingungkan lokasi tugu itu berada. Deretan batang pohon seperti di Hutan Mati juga ada di lokasi ini.

Saya bisa melihat Rugadi di kejauhan, sedang celingak-celinguk mencari tugu. Saya pun masih melihat Irana dan Mbak Patna di belakang, masih berjalan walau sudah agak melamban. Teriknya matahari membakar kulit meski sesekali sinarnya terhalang awan.
“Bray!!! Ketemu!!!!,” teriak Rugadi memecah keheningan.
Tugu peninggalan Belanda itu kami temukan tanpa info apapun di dindingnya, dengan beberapa bagian sudah hancur. Bentuknya limas segi empat dengan tinggi sekitar 2 meter. Warna tugu yang kecokelatan membuat ia tampak tersamar di antara semak dan pepohonan. Di bagian bawah tugu terdapat gua yang tembus ke secara horizontal ke jalur di sisi sungai.
Tugu tersebut berada pada koordinat LS 07º19’25.057” dan BT 107º43’50.841” dengan ketinggian sekitar 2.200 mdpl. Hampir sejajar dengan ketinggian Hutan Mati Gunung Papandayan.
Karena arloji telah menunjukkan pukul 13.00 WIB, kami pun memutuskan menyantap makan siang di sini.

10 jam pendakian
Hujan kabut turun sesaat seusai kami makan. Kami bergegas melanjutkan perjalanan.
Jalur setapak kelihatan jelas dari tugu menuju bukit di sisi barat. Namun,di beberapa titik jalur seperti terputus karena sudah tertutup pepohonan. Butuh kecermatan dan kejelian untuk melihat jalur.
Menggunakan celana panjang pun menjadi kewajiban untuk melewati jalur ini jika tidak mau kaki terluka karena goresan tumbuhan liar.
Setelah menuruni bukit, kami sempat harus dua kali menyeberangi sungai yang sama. Bolak balik karena jalur tampak terputus. Namun, akhirnya ada jalur setapak yang cukup jelas, bertanda pita biru, di punggungan bukit tersebut. Kami mengikuti jalur yang terus menanjak itu. Tanpa bonus, istilah para pendaki untuk jalur mendatar.
Setelah hampir dua jam mendaki, di ketinggian 2.480 mdpl, saya melihat Rugadi rehat sambil menikmati teh lemon di samping rumpun edelweiss yang mereka. Ia tampak lelah setelah sebelumnya naik lebih dulu, dan kemudian turun lagi untuk ‘mengevakuasi’ ransel Mbak Patna. Saya pun turut bergabung.
Tanaman edelweis itu jadi pertanda tidak lama lagi kami sampai di Tegal Alun. “Ah, sekitar 20 meter nanjak lagi lah kita sampai,” ucap saya ke teman-teman.
Benar saja, sekitar 10 menit berjalan, hamparan rumpun edelweis semakin lebat. Jalur pun hanya mendatar. Kami sudah sampai di Tegal Alun sisi selatan.
Rombongan pendaki lain di Tegal Alun sempat terheran-heran melihat kami datang dari arah yang berlawanan dengan mereka. Sebab, kebanyakan pendaki naik ke Tegal Alun dari Pondok Salada, lokasi perkemahan di Papandayan yang menjadi tujuan akhir kami hari itu.

Karena sudah menjelang sore, tanpa berlama-lama kami meneruskan perjalanan, menuruni Tanjakan Mamang, melintasi Hutan Mati, menuju Pondok Salada. Tepat pukul 17.00 kami sampai di sana. Total 10 jam perjalanan yang kami lewati untuk mencapai tempat camp ini.
Bagi Anda yang ingin sensasi berbeda dari pendakian Gunung Papandayan, jalur ini bisa menjadi alternatif. Selain bersih dari sampah, jalur dari Tugu ke Tegal Alun merupakan salah satu jalur pendakian lama menuju Puncak Papandayan sebelum erupsinya di 2002.
Oiya, saya punya oleh-oleh khas Papandayan lainnya nih. Dijamin beda! Ada juga oleh-oleh khas destinasi lainnya. Yuk, cek oleh-olehnya di sini.
Ciao!

ada foto yg katanya keliatan gunung pangrango, emang di foto itu sebelah mana nya ya? soalnya kalo melihat pangrango yg lokasinya di cianjur kayanya ga mungkin deh. kalo guntur, cireme, cikuray sih emang. cmiiw
LikeLike
Thanks koreksinya masbro, iya salah gk mungkin Pangrango. Di sisi timur laut itu ada Puncak Derajat, Guntur dan Ciremai. Lalu ada Galunggung dan Cikuray di timur. Kalau yg posisinya jauh sekali muncul hanya pucuknya di atas awan itu sepertinya Slamet. CMIIW
LikeLike
Ternyata….. Papandayan….. ah, jadi pengen coba. Tengkyu gan catpernya 🙂
LikeLike
Yuk mari, semoga menyenangkan perjalanannya nanti 😊
LikeLike
Jalur sisi lainnya jelas ga gan?
LikeLike
Awalnya aja yg kurang jelas, tapi kalau udh sampai di danau jelas kok. Tapi agak berat aja medannya dibanding jalur yg biasa.
LikeLike